Cara Praktis & Cepat Belajar Calistung Pada Anak Usia Dini /TK, Apakah dibolehkan?

Cara Praktis & Cepat Belajar Calistung Pada Anak Usia Dini /TK

Tempat-tempat kursus dan pelatihan pendidikan banyak yang menawarkan program cara praktis dan cepat belajar calistung untuk anak usia dini. Berbagai metode diterapkan agar anak-anak di usia dininya sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Dalam hitungan bulan bahkan minggu, mereka diharapkan sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung.

Namun, dibalik kemudahan anak dalam mendapatkan metode belajar calistung terdapat sebuah ancaman yang bisa berakibat negatif bagi perkembangan anak kedepannya. Ketidaksiapan anak untuk belajar calistung di usia dini dan tidak sesuainya metode calistung dengan fase perkembangan anak pada usia tersebut, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Jadi, apakah Cara Praktis & Cepat Belajar Calistung Pada Anak Usia Dini /TK, dibolehkan?

Pada anak usia dini adalah masa atau fase dimana anak lebih suka bermain. Dunia mereka adalah dunia bermain. Bagaimana jika pada masa tersebut, anak-anak sudah dijejali dengan materi-materi pelajaran seperti membaca, menulis, dan menghitung? Ya bisa diibaratkan memberi makan bayi dengan gorengan tempe atau lebih ekstrim lagi disuruh makan jengkol. Wah, bisa parahkan akibatnya?

“Kita kan bisa menyelipkan huruf-huruf atau angka-angka dalam proses bermain anak... Kalau mereka mampu kenapa tidak diteruskan... Toh, kemampuan otak anak juga berbeda-beda, ada yang mudah nangkap dan ingatannya tajam dan ada juga yang tidak...”. Itulah kalimat yang sering terdengar dari guru atau orang tua yang menginginkan murid atau anaknya cepat-cepat bisa membaca, menulis, dan menghitung.

Perlu disadari, mayoritas orang Indonesia itu tidak memahami perkembangan otak anak. Hal itu mengakibatkan para orang tua belum benar  cara mengasuhnya dan para guru belum benar cara mendidiknya. Dan apa akibatnya dari cara-cara yang belum benar tersebut? Kita bisa lihat orang tua yg seharusnya sudah dewasa bertingkah seperti anak-anak, banyak buktinya. Contoh: Anggota DPR kita, tingkahnya persis anak TK. Kerja tidak baik tapi minta imbalan lebih dan lebih parah lagi suka berkelahi ditengah sidang.

Contoh ke-2, Kita lebih banyak mencetak insan bermental pegawai bukan visioner, bukan pakar/ahli dibidangnya, dan bukan orang yg bermental pengusaha pembuka lowongan kerja. Sebagian besar Orang Indonesia tidak suka mengambil resiko kegagalan, mereka lebih memilih jadi pegawai karena tenang mendapat gaji bulanan . Tapi ketika di PHK, mereka bingung karena mereka tidak punya keterampilan.

Contoh ke-3, Kita terbiasa menghargai rangking teratas (3 atau10 besar) dan nilai sempurna (80-100). Kita jarang menghargai kerja keras mereka dalam belajar. Padahal ada anak yg sudah belajar sungguh-sungguh, tapi mereka tetap tidak mendapatkan nilai bagus dan rangking karena kemampuan dan bakat mereka berbeda. Akibatnya, ketika UN sekolah melakukan kecurangan yang diamini oleh orang tua. Dan ini benar-benar tejadi. Kalau anak-anak kita terbiasa dihargai kerja kerasnya bukan hanya angka atau nilainya, pasti tidak akan terjadi kecurangan-kecurangan tersebut. Karena mereka percaya diri dengan hasil usaha belajarnya sendiri. 

Para ahli otak di dunia termasuk para ahli otak di Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Neuroscience Society, sudah lama melakukan penelitian bahwa otak anak-anak itu belum berkembang sempurna (matang) hingga dia berusia 20-25 tahun. Otak kita dibagi 3: batang otak (diatas leher), limbik (kepala bagian belakang), dan pre frontal cortex/PFC (kepala bagian depan / dahi). Perkembangan ketiganya itu pun sesuai dengan urutannya. Jadi, PFC itulah yg terakhir berkembang dengan sempurna dan yang menandakan seseorang menjadi dewasa.

Di kalangan muslim pasti sudah tidak asing dengan kisah Rosulullah yg ketika mengimami sholat beliau sujudnya sangat lama. Lalu para sahabat bertanya: “kenapa lama? apakah Rosulullah sedang menerima wahyu dari Allah SWT?” Rosul menjawab:”tidak, cucuku tadi menaiki punggungku”. Jadi, Beliau menunggu sampai cucunya turun dari punggungnya. Beliau tidak memberi isyarat kepada cucunya untuk turun.  Salah satu hikmah dari kisah tersebut adalah Rosul lebih mementingkan / mendahulukan cucunya yang sedang bermain-main ketimbang ibadahnya.

Dan apa hubungan kisah diatas dengan perkembangan otak? Sambungan otak anak-anak itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal-hal kognitif pada usia 7-8 th. Sebelum usia itu, dunia mereka adalah dunia bermain. Mereka pun tidak boleh ”dimarahi”. Ada ciri-ciri yang mudah kita lihat bahwa perkembangan otak anak-anak belum siap untuk menerima hal-hal kognitif :
  • Ketika kita membacakannya sebuah cerita/dongeng atau memperlihatkan film kartun, mereka akan meminta kita mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Kita yg tua sampai bosen tapi dia tak pernah bosan mendengar cerita kesukaannya itu diulang-ulang, berkali-kali, dan berhari-hari.
  • Mereka yg antusias belajar membaca lalu bisa, tapi mereka tidak paham dengan apa yg mereka baca.
Lalu apa akibatnya kalau masa usia bermain mereka digunakan untuk belajar hal-hal yg kognitif?  Anak tidak mampu menunjukkan emosi yg tepat, kendali emosi (intra personalnya terganggu), sulit menunjukkan empati, dan dewasanya kelak mereka bertingkah seperti anak kecil: suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit-sakitan karena ingin diperhatikan orang-orang sekitarnya, dan sikap kekanak-kanakan lainnya.

Sudah banyak orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya: ketika masih usia dini sangat antuasias belajar CALISTUNG lalu orang tuanya merespon dengan memberikan porsi lebih banyak entah mengajari sendiri secara intensif atau memasukkannya ke tempat les calistung dan ujung-ujungnya datang pada satu masa anak-anak itu bosan lalu akhirnya mogok belajar dan mogok sekolah.
Lalu apa yg seharusnya kita ajarkan pada usia ( 0-8 tahun ) mereka?
  • Jangan dimarahi
  • Tidak diajarkan membaca, menulis, dan menghitung
  • Bermain role play; memahami bahasa tubuh, suara dan wajah; berbagi hal yg memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan musik, dan mendengarkan dongeng.
  • Anak usia 0-12th pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yg tepat, empati, mood, & feeling
  • Usia emas kita artikan sebagai masa-masa tumbuh kembang anak yang paling pas untuk kita tanamkan budi pekerti dan akhlak yg mulia.
Jadi sudah sangat jelas alasannya cara praktis & cepat belajar Calistung Pada Anak Usia Dini /TK sebaiknya tidak dilakukan. Kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa metematika, namun diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ini sudah terbukti. Selanjutnya, terserah pada pilihan Anda.



Baca Juga:

1 komentar:

  1. Sebenarny iya...masa usia 0-8 tahun itu seharusnya tidak memaksa anak untuk bisa calistung. Namun ironisnya,para ibu dihadapkan pada rumor dimasyarkat bahwa syarat wajib masuk SDN itu harus sudah bisa calistung.inilah yg menghantui para ibu khususnya.nah,apa ini salah metofe pengasuhan atau dr pemerintah ataukah pihak sekolahnya(SDN)yang slah?.logikanya juga kita orang tua ingin anknya masuk di sekolah negeri.

    BalasHapus